Lindungi Investasi Industri Persampahan


Posisi geografis DKI Jakarta sangat memengaruhi daerah-daerah sekitarnya. Ini karena Jakarta bukan saja pusat pemerintahan, namun juga ibu kota negara. Dinamika sosial dan ekonomi sangat berpengaruh kuat terhadap gelombang perubahan di daerah-daerah sekitar sehingga dapat mengubah kondisi eksisting wilayah dari pedesaan menjadi perkotaan.
Seperti pertumbuhan pemukiman menjadi perumahan dari ukuran Rumah Sangat Sederhana (RSS) sampai Real Estate (RE), merupakan multiplier effect dari pertumbuhan ekonomi dan wilayah suatu daerah. 
Hal lain adalah adanya volume sampah yang terus bertambah sesuai aktivitas dan pertambahan manusia di wilayah DKI Jakarta. Lahan yang terbatas menjadikan pengeloaan sampah sangat penting. Tumpukan sampah menjadi dilema dalam menciptakan DKI menjadi “Kota Sehat”. Adanya ketergantungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam menampung sampah kota sebanyak 5.000-6.000 ton/hari, menjadi titik pokok permasalahan perkotaan yang harus diselesaikan secara simultan dengan pertumbuhan wilayah.
Mengubah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantargebang menjadi Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST), merupakan langkah strategis Pemprov DKI dalam mengurangi volume sampah; di samping mencegah tingkat pencemaran akibat sampah yang tidak diubah menjadi barang-barang yang lebih ekonomis atau dapat dipergunakan kembali.
Adanya isu mengenai pemanasan global, dapat teratasi dengan penggunaan gas metan dangan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), di samping pengolahan sampah organik menjadi pupuk kompos. Ini termasuk pengolahan sampah non-organik seperti sampah plastik dan yang lainnya menjadi barang bernilai ekonomis.
Peran pemerintah DKI sebagai regulator dan operator saat ini haruslah secara tegas memisahkan diri hanya sebagai regulator saja; tidak lagi menjadi operator. Dengan demikian profesionalisme pelaksanaan unit kerja dalam pembangunan ditentukan oleh kualitas output, bukan oleh proses pelaksanaan unit kerja dalam pembangunan wilayah. Peran swasta menjadi tulang punggung investasi dalam memajukan DKI Jakarta untuk memiliki “City Advantages Competitiveness” di antara ibu kota-ibu kota dunia lainnya.
Pemerintah selaku pemilik wilayah saatnya menjadi “manajer investasi” perkotaan. Pelaksanaan teknis selayaknya dilakukan oleh kalangan swasta dalam bentuk kerja sama investasi. Perpres Nomor 13 Tahun 2010 yang merupakan perubahan atas Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 67 Tahun 2005 tentang kerja sama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur, menjadi dasar hukum proses swastanisasi penyediaan infrastruktur.
Di dalam kerja sama dengan pihak swasta, ada tiga peraturan yang menaungi. Yakni, Peraturan Pemerintah (PP) 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, PP 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah, dan Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Persampahan, sesuai Pasal 26 dan 27.
Kewajiban pemerintah daerah melindungi investasi dan kelanjutan pembangunan di daerah, sama penting dengan urusan wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang terkait dengan pelayanan dasar bagi masyarakat. Contohnya pendidikan dasar, kesehatan, lingkungan hidup, perhubungan, dan kependudukan.
Selain TPST Bantargebang yang terletak di Kota Bekasi, Dinas Kebersihan DKI Jakarta juga bekerja sama dengan PT Wira Gulfindo Sarana (WGS) yang mengolah sampah di dalam kota, yaitu di Pusat Daur Ulang dan Komposting (PDUK) Cakung. Instalasi yang beroperasi sejak 2007 ini menerapkan teknologi Ball Press yang dikelola oleh swasta. PDUK Cakung akan ditingkatkan menjadiIntermediate Treatment Facility (ITF) atau TPST dalam kota dengan teknologi tinggi (zero waste), tepat guna, dan ramah lingkungan.
Sementara itu, TPST Bantargebang dikelola oleh PT Godang Tua Jaya (GTJ) joint operation dengan PT Navigat Organic Energy Indonesia (NOEI). Kontrak pengelolaan ini berlangsung selama 15 tahun hingga tahun 2023. Di Bantargebang telah diterapkan teknologi Gassification Landfill Anaerobic Digestion (GALFAD) untuk menghasilkan listrik dari gas metan sampah. Produksi energi listrik dari Pembangkit Sampah Tenaga Sampah (PLTS) Bantargebang sampai saat ini telah menghasilkan 10,5 MW dari target 26 MW pada 2014.
Proyek pembangunan pengelolaan sampah ini dilakukan dengan sistem Build Operate and Transfer (BOT), melalui perjanjian kerja sama pemerintah dan swasta. Sama halnya pembangunan proyek pengolahan sampah di atas lahan seluas 3,5 hektare di Sunter yang dilakukan dengan sistem BOT.
Proyek ini tidak membebani keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) melalui perjanjian kerja sama pemerintah dan swasta, dengan kapasitas 1.200 ton per hari yang dapat beroperasi tahun depan.
Di Cakung dan Sunter, penerapan teknologi incinerator direkomendasi oleh Clinton Climate Initiative (CCI), satu organsasi nirlaba yang bergerak di bidang penyelamatan lingkungan asal Amerika Serikat. Pada 2012, PT Godang Tua Jaya (GTJ) joint operation PT Navigat Organik Energi Indonesia (NOEI) di Bantargebang direncanakan pembangunan industri biji plastik daur ulang.
Melihat langkah pembangunan berkelanjutan menghadapi pemilihan umum kepala daerah (pilkada) yang akan berlangsung, Pemprov DKI Jakarta membutuhkan gubernur yang visioner, innovatif, dan melindungi investasi di sektor persampahan yang kini sudah menjadi industri, dan meningkatkatkan daya saing DKI Jakarta sebagai ibu kota dengan ibu kota negara-negara dunia.
Seperti diketahui, saat ini TPST Bantargebang mampu memproduksi 26 MW energi listrik yang berasal dari tiga sumber, yaitu : Landfill Gas Collection 14 MW, Anaerobic Digestion 5 MW, dan Thermal Process 7 MW. Adapun pengomposan di TPST Bantargebang telah dimulai pada 2004 dengan dukungan Waste Java Enverontmental Management Project (WJMP).
Sistem pengomposan kini telah mendapat pengakuan dari Departemen Pertanian maupun lembaga-lembaga mutu, seperti Sucofindo, Balai Benih Padi Sukamandi maupun ISO 1900:2008.
Seiring dengan adanya sosialisasi pemakaian pupuk kompos atau organik secara nasional oleh pemerintah melalui Kementerian Pertanian, saat ini Godang Tua Jaya meningkatkan produksi dari 60 ton per hari menjadi 100 ton per hari. Kini pemasaran dikembangkan hingga berbagai daerah di Tanah Air, seperti Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.
*Penulis adalah Direktur Environment Communty Union.

Leave a Reply

Diberdayakan oleh Blogger.